Minggu, 07 Maret 2010

Antara Apa dan Mengapa

Mengapa harus aku?
mengapa begini?

dalam beberapa hal, kata mengapa membuka titik keingintahuan menjadi lebih besar. menyemangati orang untuk mencari. Tapi, dalam hal lainnya. kata "mengapa" menjadi sebuah kata penyesalan yang sangat tidak berarti. membenamkan diri sendiri dalam kegelapan masa lalu yang telah kita lalui.

hmm. mungkin penjelasanku selanjutnya bakal melenceng sedikit, tapi gpp kan?

apakah anda orang dewasa? atau anak-anak?

yang perlu digaris bawahi, dewasa bukan berarti tua. seperti yang iklan rokok bilang, "Tua itu pasti, tapi dewasa itu pilihan". setiap orang beranjak tua. tapi tidak semua orang beranjak dewasa. ada lho orang-orang yang seumur hidupnya belum menjadi dewasa. sungguh.

nah. salah satu ciri orang dewasa dan bukan adalah bagaimana mereka memperlakukan kata tanya apa dan mengapa. contoh. ketika ada seseorang dimarahi. seseorang yang kekanakan bakal bertanya dalam hatinya, "kenapa harus aku yang dimarahi?". tapi orang dewasa bakal bertanya dalam hatinya, "Apa yang harus kulakukan agar aju tidak dimarahi?"

simpel kan? tapi hal sesimpel ini malah menjadi ruwet.

intinya. orang dewasa tidak akan melakukan flashback-flashbak tidak berguna dengan menanyakan, "kenapa bisa begini? bukanka seharusnya begini?" mereka tidak akan menangis menyesali hal-hal yang telah terjadi. mereka bakal berdiri. memandang lurus ke depan. dengan pertanyaan "apa yang harus kulakukan sekarang?"

dewasakah anda?
jgn bertanya, " kenapa si aku gak dewasa-dewasa?". bertanyalah,"apa yang harus kulakukan untuk membuatku dewasa?

2 komentar:

  1. jadi menurut mas Ali, apa itu dewasa?
    karena menurut saya, apa yang anda maksud sebagai dewasa tadi hanya ada (exist) dalam konteks masyarakat dengan orientasi pragmatis dan konformis.
    dengan analogi seperti itu panjenengan secara tidak langsung sudah mengasumsikan bahwa ketidak-sesuaian seseorang dengan masyarakat atau terhadap paradigma tertentu yang berlaku dalam konteks tertentu pula identik dengan ketidak dewasaan, kalau ini diteruskan maka pertanyaan bodoh yang terlintas di pikiran saya hanya satu:

    "ketika suatu masyarakat atau kultur tertentu tidak bisa menerima perbedaan (dimana perbedaan adalah hal yang esensial), maka masyarakat atau kultur itu sudah dewasa atau belum?"

    singkatnya anda sudah memberikan ruang bagi apa yang tidak mampu dijelaskan oleh para dedengkot psikologi, semacam: Freud, Jung nda Adler atau para dedengkot sosiologi semacam Weber atau Parsons. kalau anda telaah lagi, panjenengan bakal sampai pada sebuah paradoks. kesimpulannya:
    kayaknya perlu baca lebih banyak dan diperluas lagi scope pergaulannya.
    dunia g seluas daun kelor bung...btw: tulisan yang bagus.. dan saya sangat menganjurkan untuk diteruskan, untuk berproses lagi...

    Saran:
    jangan takut pada hal yang mbulet atau ruwet!!!
    karena menurut saya, itu adalah awal dari terang sebuah pemahaman.

    BalasHapus
  2. jadi menurut mas Ali, apa itu dewasa?
    karena menurut saya, apa yang anda maksud sebagai dewasa tadi hanya ada (exist) dalam konteks masyarakat dengan orientasi pragmatis dan konformis.
    dengan analogi seperti itu panjenengan secara tidak langsung sudah mengasumsikan bahwa ketidak-sesuaian seseorang dengan masyarakat atau terhadap paradigma tertentu yang berlaku dalam konteks tertentu pula identik dengan ketidak dewasaan, kalau ini diteruskan maka pertanyaan bodoh yang terlintas di pikiran saya hanya satu:

    "ketika suatu masyarakat atau kultur tertentu tidak bisa menerima perbedaan (dimana perbedaan adalah hal yang esensial), maka masyarakat atau kultur itu sudah dewasa atau belum?"

    singkatnya apa yang anda sampaikan pada tulisan anda adalah konsep kedewasaan yang non-universal. atau dengan kata lain apa yang panjenengan sampaikan bukanlah hal yang bisa diikuti semua orang. saya salut anda sudah memberikan ruang bagi apa yang tidak mampu dijelaskan oleh para dedengkot psikologi, semacam: Freud, Jung, Adler bahkan Erich Fromm sekalupun. atau yang luput dari para dedengkot sosiologi semacam Weber, Parsons bahkan Giddens. tetapi kalau anda telaah lagi, panjenengan bakal sampai pada sebuah paradoks. kesimpulannya:
    kayaknya perlu baca lebih banyak dan diperluas lagi scope pergaulannya.
    dunia tidak seluas daun kelor bung. dunia juga tidak seindah bacaan-bacaan inspiratif yang (mungkin) sering anda baca.
    btw: tulisan yang bagus.. dan saya sangat menganjurkan untuk diteruskan, untuk berproses lagi...

    Saran:
    jangan takut pada hal yang mbulet atau ruwet!!!
    karena menurut saya, itu adalah awal dari terang sebuah pemahaman.

    BalasHapus